Berita terbaru dari Masjid Nurul Huda Tugumulyo

Al-Mu’amalat, 10 Interaksi Ruhani Sufi Raih Rida Ilahi

Penulis Al-Mu’amalat, 10 Interaksi Ruhani Sufi Raih Rida Ilahi
Pengurus Masjid Masjid Nurul Huda Tugumulyo
Al-Mu’amalat, 10 Interaksi Ruhani Sufi Raih Rida Ilahi

Jakarta (Kemenag) --- Setelah menyelami tahapan awal (Al-Bidayah) dan pintu-pintu (Al-Abwab) Ruhani kaum sufi, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman memaparkan tahapan lanjutan dari 100 Tangga Ruhani Kaum Sufi dalam meraih Rida Ilahi. 10 Tangga Ketiga ini terangkum dalam istilah Al-Mu’amalah atau interaksi.

Sebagaimana sebelumnya, penjelasan tahapan ketiga ini dikemas dalam utas 100 Tangga Ruhani melalui akun twitter @Ofathurahman. “Al-Raghbah adalah #TanggaRuhani terakhir dalam Manzilah "Al-Abwab" (Pintu-pintu). Berikutnya Manzilah "Al-Mu'amalat" (Interaksi), berisi 10 tangga,” demikian Oman Fathurahman mengawali utasan tentang bagian ketiga ini sebagaimana dikutip Humas Kemenag dengan penyesuaian seperlunya, terutama pada penulisan singkatan, Senin (26/4/2021).

“Al-Sinkili merujuk pada Manazil al-Sa'irin karya al-Harawi, dengan sedikit "improvisasi",” sambung Oman memberikan konteks atas pesan pokok tahap Al-Manzilah yang tertuang dalam kitab Tanbih Al-Masyi karya Abdurrauf Al-Sinkili.

Tahapan Al-Muamalah ini diawali dengan al-rahbah (khawatir). Yakni, rasa teramat takut dalam menghindari sesuatu yang tidak disukai. “Al-Sinkili menyamakan al-rahbah dengan al-khasy’yah (الخشية), rasa takut milik ulama, takut yang tidak menyebabkan lari, tapi mendekat pada Keadilan-Nya,” ujar Oman.

Tangga Ruhani selanjutnya adalah al-muraqabah (pengawasan). Ini bisa dipahami sebagai terus-menerus menghadirkan hati dan niat bersama Allah. “Terus menerus meyakini bahwa Dia Melihat, Mendengar, Mengetahu, dan Mengawasi (raqiibaa), tak sedetik pun luput dari-Nya,” jelas Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah, Sawangan Depok ini.

Ketiga, al-hurriyyah (merdeka). Yakni keluar dari menghamba kepada selain Allah; memerdekakan diri dari belenggu makhluk, dan hanya tunduk pada-Nya. “Ini bukan berarti hamba tidak memiliki harta atau duniawi, terpenting tidak menjadi budaknya,” tegas Oman menggarisbawahi.

Menurut Oman, dalam Manazil al-Sa’irin, al-Harawi tidak menyebut “al-hurriyyah”. Ia menyebut al-hurumah, yaitu menjaga dan mengagungkan larangan Allah; mengagungkan bukan karena takut, bukan karena ingin pahala, dan bukan karena ingin pamer kesalehan.

Tangga keempat dari Al-Manzilah adalah al-ikhlas (tulus). Yakni membersihkan amal agar tidak bercampur dengan niat buruk dan kotor; tidak ingin dianggap baik, tidak ingin dipuji. “Amal harus ikhlas dan benar; yang ikhlas tapi tidak benar, atau yang benar tapi tidak ikhlas, keduanya tertolak,” paparnya.

Kelima, al-tahdzib (penyucian). Oleh Al-Sinkili, ini hanya didefinisikan sebagai baik (الصلاح). Al-tahdzib berarti latihan (riyadhah) “menggojlok” diri agar beramal, beribadah, bersikap, berkhidmat, dan bahkan niat pun selalu disertai ilmu.

Berikutnya adalah tangga al-istiqamah (teguh). Artinya, lurus, tegas dalam perkataan & perbuatan, tidak ragu menjalani kebenaran. Istiqamah ibarat ruh yang memaknai perilaku. “Amal tanpa istiqamah sama dengan badan tanpa nyawa. Istiqamah membangun reputasi, bukan sekadar prestasi,” ucap Oman yang juga pengampu kajian online Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa).

Ketujuh, al-tawakkul (tawakkal). Yakni menyerahkan segala urusan kepada yang Berkuasa menanganinya. Tantangannya, sering orang awam serahkan urusan kepada diri sendiri, terlalu percaya diri, merasa punya kemampuan dan kekuasaan titipan-Nya.

Kedepalan, al-tafwidh (pasrah). Yakni, sepenuhnya memasrahkan segala urusan kepada yang Menggerakkan. Kalau tawakkal, serahkan urusan kepada-Nya setelah ada peristiwa, kalau tafwidh pasrah, sebelum dan sesudah peristiwa. “Yakin ada Dalang dalam kehidupan,” jelasnya.

Tangga Ruhani kesembilan dari tahap Al-Manzilah adalah al-tsiqah (yakin). Yakni menyandarkan segala urusan kepada-Nya. Tsiqah adalah inti dr tawakkal dan pasrah. “Kalau tawakal adalah mata, tsiqah hitamnya. Kalau pasrah adalah hati, tsiqah relungnya. Ia intinya inti, “core of the core”,” kata Oman membuat perumpamaan.

Terakhir atau kesepuluh, al-taslim (tunduk). Al-Sinkili menyebutnya sebagai penyerahan diri secara total kepada al-Haq, Tuhan Yang Mahabenar, tanpa disesaki akal atau angan-angan (wahm). Al-taslim diyakini sebagai tangga kunci untuk bisa sampai pada tangga ruhani berikutnya.

“Al-taslim (pasrah) adalah #TanggaRuhani terakhir dalam Manzilah "al-Mu'amalat" (Interaksi),” tandasnya.


Sumber: Kemenag.go.id

Comments (0)

Leave your thought